Cinta dan Benci


Proses evolusi biologi membuat cinta dan benci tertanam dalam otak manusia. Kedua emosi itu tak hanya berlaku dalam pencarian pasangan individual untuk mewariskan generasi, tetapi juga untuk mencari panutan dalam konteks sosial. Oleh karena itu, sepanjang perjalanan sejarah manusia, cinta dan benci senantiasa mewarnai hidup manusia.

Cinta dan benci adalah pasangan, saling melengkapi dan saling membutuhkan. Cinta dan benci tidak mungkin muncul sendiri karena akan menjadikan cinta dan benci menjadi berlebih. Cinta berlebih membuat kita tak bisa melihat sisi hitam dari seseorang yang kita cintai. Sebaliknya, benci berlebih membuat kita sulit melihat sisi putih dari seseorang yang kita benci.

“Cinta dan benci yang berlebihan justru membahayakan karena menumpulkan kemampuan menalar dan daya kritis,” kata Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi Manado Taufiq Pasiak saat dihubungi dari Jakarta, Senin (13/2/2016).

Namun, justru cinta dan benci berlebih itu yang terjadi pada masyarakat saat ini. Hanya gara-gara pandangan politik, agama, maupun etnis, kita lupa bahwa manusia, siapa pun dia dan apa pun profesinya, tetaplah manusia yang tidak sempurna. Karena itu, cinta dan benci diperlukan sewajarnya saja.

Psikolog klinis dari Klinik Psikologi Rumah Hati Jakarta Tri Swasono Hadi menambahkan, agar bisa menempatkan cinta dan benci secara proporsional, maka cinta dan benci perlu digunakan bersama-sama secara adaptif untuk mencapai tujuan. Cinta dijadikan sebagai pendorong untuk mencapai sesuatu, sedangkan benci diperlukan sebagai pengendali agar kita terhindar dari bahaya saat mencapai tujuan.

“Idealnya, cinta memang harus lebih mendominasi, sedangkan benci diperlukan sebagai pengendali cinta agar tidak berlebih,” katanya.

Tidak ada komentar

GENERASI GO-BLOG. Diberdayakan oleh Blogger.