CATATAN PETANI MILENIAL (Part I)
Berawal dari keresahan akibat banyaknya keluhan petani yang sering kami dengar tentang gagal panen atau rendahnya hasil produksi padi, padahal begitu banyak bantuan sarana produksi dan alat mesin pertanian yang telah dikucurkan oleh pemerintah untuk menyejahterakan kehidupan petani secara khusus, serta untuk meningkatkan hasil produksi pertanian nasional secara umum, terasa sia-sia.
Orang tua kami adalah petani “tulen”, saya dapat menganggapnya sebagai representasi yang bisa mewakili perilaku dan pola pikir petani di kampung. Olehnya itu, saya melakukan observasi dan mendapatkan jawaban dari pertanyaan, mengapa petani sering mengalami gagal panen? Mengapa produktivitas hasil panen jauh dari rata-rata hasil riset? Hasil panen petani padi rata-rata 4,5 ton per hektar, tetapi bagi peneliti bisa mencapai 8 ton per hektar. Saya dapat menjabarkannya sebagai berikut:
1. Pengetahuan dasar ilmu alam
Pendidikan petani didominasi oleh lulusan SMP dan SD, bahkan menurut data Kementan 2023 sebanyak 70% pendidikan petani Indonesia hanya tamatan SD. Ini sudah dapat kita asumsikan jika ilmu pengetahuan mereka rendah, padahal bertani memerlukan ilmu alam seperti dasar-dasar Biologi, Fisika dan Kimia. Sebagai contoh, masih banyak petani yang melakukan pencampuran pupuk hayati dengan pestisida dalam sprayer untuk efisiensi kerja. Tentu kita mengetahui bahwa PHC mengandung bakteri yang aktivitasnya akan mati jika diberi bahan kimia pestisida. Bahkan pestisida pun ada kode tertentu dan aturan untuk melakukan pencampuran dari dua produk atau lebih. Di sisi lain, masih banyak petani yang percaya bahwa sistem tanam benih langsung dan tanpa jarak tanam lebih menguntungkan karena tak membutuhkan banyak waktu, biaya dan tenaga, padahal jelas ini sangat bertolak belakang dengan teori kompetisi makhluk hidup dalam memperebutkan energi dan makanan.
2. Perencanaan
Pekerjaan apapun mutlak dilakukan perencanaan, termasuk budidaya padi. Dengan membuat perencanaan, maka semua akan terjadwal seperti pengolahan lahan, pembibitan, pemilihan varietas padi, pemupukan dsb. Jadwal pengolahan lahan biasanya disesuaikan dengan musim/curah hujan, pembibitan dengan memilih varietas padi tertentu dengan berbagai pertimbangan seperti umur atau ketahanan terhadap hama/penyakit, sedangkan pemupukan disesuaikan dengan umur pertumbuhan padi dengan anjuran tiga kali pemupukan dengan dosis yang dianjurkan.
Biasanya di sinilah ditemukan beberapa kelemahan perilaku petani, yaitu pemilihan varietas padi, mereka hanya berorientasi pada hasil, tidak menyesuaikan dengan keadaan saat itu. Menyesuaikan kondisi misalnya memilih varietas padi umur genjah/pendek jika tahun itu diprediksi curah hujan rendah, dan sebaliknya. Dalam pemupukan, petani rata-rata melakukan dua kali pemupukan, bahkan masih ditemukan hanya melakukan sekali pemupukan dengan dosis yang tidak tepat seperti Urea berlebihan atau sebaliknya sangat mengirit jumlah kebutuhan pempukan per hektar lahan. Beberapa hasil riset menyimpulkan bahwa pemupukan sebaiknya dilakukan tiga kali, yaitu pada masa vegetatif (7-10 HST), masa menjelang Primordia (30-35 HST), dan Bunting (60-65 HST) dengan perbandingan 3 Urea : 7 NPK (Phonska) untuk satu hektar.
3. Mengirit modal
Menghemat biaya usaha tani akan berdampak pada hasil produksi, karena secara teori hasil yang besar akan membutuhkan modal yang besar pula. Sebagai contoh, benih varietas unggul baru dan berlabel akan lebih baik pertumbuhan dan ketahanan terhadap serangan hama/penyakit, serta cekaman lingkungan, sehingga akan meningkatkan produksi 15-35%. Namun petani lebih memilih tak mengeluarkan biaya dengan menggunakan benih yang sudah tidak bersertifikat yang merupakan keturunan dari benih lama yang dibudidayakan beberapa musim tanam.
4. Pola pikir tradisional
Perilaku petani yang sulit mengadopsi pengetahuan dan keterampilan karena karakter mereka yang konservatif (mempertahankan pemikiran) dan tidak ingin repot, misalnya mereka sudah percaya dengan produk kimia yang sifatnya praktis dan hasilnya yang cepat terlihat sehingga enggan untuk menggunakan pupuk hayati karena menggunakan produk organik harus lebih intensif seperti harus dilakukan penyemprotan setiap minggu sampai padi berbuah. Sementara itu penggunaan bahan organik akan mengurangi penggunaan dan ketergantungan terhadap bahan kimia, serta memberikan dampak yang baik untak jangka panjang pada lahan/lingkungan dan kesehatan.
Dari empat masalah di atas, akhirnya saya mencoba “turun gunung”, untuk menerapkan ilmu yang saya pernah dapatkan di sekolah/kampus, dan ingin memberikan bukti dan contoh kepada para petani bahwa panen padi kita bisa sukses jika semua masalah-masalah di atas diselesaikan. Walaupun saya mengakui bahwa saya sudah sedikit terlambat karena umur pertanaman padi sudah 30 HST, tetapi saya tetap melakukan tindakan, yaitu:
1. Melakukan observasi pertanaman padi dan mencatat data
Kegiatan awal yang saya lakukan adalah mencari masalah/kendala yang dialami oleh petani, seperti serangan hama dan kondisi pertumbuhan padi (defisiensi unsur hara).
2. Mengolah data
Selanjutnya saya mengolah data yang saya temukan untuk menyelesaikan masalah yang ditemukan saat konservasi.
3. Menyusun model tindakan dan jadwal perlakuan
Setelah mengolah data yang berasal dari beberapa masalah petani, saya lalu menyusun analisis dalam bentuk matriks untuk menyesuaikan jadwal tindakan.
4. Membuat formulasi
Tindakan terakhir adalah menggambar peta lahan untuk mengetahui luas dan kebutuhan nutrisi padi (jenis pupuk dan dosis pemupukan) dan tingkat kerusakan serangan hama, lalu melakukan penyemprotan/pemupukan. Hal tersebut merupakan penerapan dari prinsip 5T (Tepat Waktu, Tepat Jenis, Tepat Dosis, Tepat Cara, dan Tepat Tempat).
Saya ingin berbagi di sini tentang bagaimana Tuan Pedro memberi saya pinjaman sebesar £820.000,00 untuk memperluas bisnis saya dengan tingkat pengembalian tahunan 2%. Saya sangat bersyukur dan saya pikir saya harus membagikannya di sini. Berikut alamat emailnya: pedroloanss@gmail.com / WhatsApp +393510140339 jika ada di sini yang mencari suku bunga pinjaman yang terjangkau.
BalasHapus