Belajar, Bukan Menghafal

Oleh: Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan
Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta..
 

Salah satu kegemasan saya soal pendidikan di Indonesia adalah soal kebiasaan menjadikan kegiatan menghafal sebagai bagian utama dari proses belajar. Ini dilakukan secara sadar maupun tidak.
Yang dilakukan secara sadar adalah perintah untuk menghafal doa, teks, ayat, dan sebagainya. Yang dilakukan secara tidak sadar adalah materi pelajaran yang melebihi porsi, sehingga mustahil dipahami anak.
Akhirnya ditempuh jalan pintas, yaitu, hafalkan saja. Sangat menyedihkan bila melihat bahwa pendidikan dasar kita didominasi oleh kegiatan menghafal.
Menghafal adalah proses menempatkan informasi ke dalam ingatan (memori). Ada proses mengubah informasi menjadi kode dalam proses penyimpanan, ini disebut coding.
Bila diperlukan, informasi itu bisa ditarik kembali, diubah kodenya sehingga menjadi format asal. Menghafal umumnya berbasis pada bunyi yang dihasilkan secara oral.
Belajar adalah proses yang berbeda. Sangat berbeda. Perbedaan terpentingnya terletak pada proses pencernaan informasi. Informasi dicerna, berbasis pada informasi dan pemahaman yang sudah ada sebelumnya.
Pada akhirnya informasi juga akan disimpan dalam memori, tapi dalam format yang sama sekali berbeda dengan yang disimpan melalui proses hafalan.
Nah, inilah masalah pada pendidikan kita, khususnya pendidikan dasar. Entah kenapa pembuat kurikulum kita begitu bersemangat untuk menjejalkan sebanyak mungkin pengetahuan kepada anak-anak sejak usia dini.
Demikian banyak sehingga guru tak sanggup membangun pemahaman kepada anak-anak atas setiap subjek pelajaran. Anak-anak pun tak sanggup memahaminya. Akhirnya, dipilihlah jalan pintas, hafalkan saja.
Tentu saja ini sangat terkait dengan pola ujian, atau tes kita. Ujian kita berbasis pada pola pilihan ganda, satu jawaban untuk satu pertanyaan.
Cara paling jitu untuk menghadapi ujian ini adalah menghafal. Kita tidak menyediakan ruangan memadai untuk eksplorasi dan argumentasi dalam sistem tes kita.
Selain hanya menyediakan satu jawaban atas satu persoalan, sistem hafalan tidak membangun hubungan antar informasi yang disimpan.
Informasi disimpan dalam format tunggal, tanpa hubungan. Artinya, informasi tidak membangun pengetahuan, sebatas kumpulan bunyi belaka.
Cara menghafal adalah dengan mengulang. Persis seperti orang melakukan latihan fisik. Kalau kita rajin melakukan latihan beban secara berulang, maka otot kita akan membesar. Itu adalah “memori” yang menandai aktivitas tadi.
Menghafal sama dengan memberi tanda itu pada otak kita. Konsekuensinya, bila prosesnya kita hentikan, maka secara perlahan tanda itu akan hilang. Kita akan lupa.
Anak-anak banyak belajar dari menghafal. Mereka bisa menghafal dengan cepat. Tugas kita sebenarnya bukan menjejali mereka dengan hafalan, mumpung ingatan mereka masih segar.
Tugas kita justru sebaliknya, memanfaatkan masa itu untuk menciptakan ruang-ruang untuk fondasi pemahaman sebanyak mungkin, agar mereka lebih mudah menyerap informasi pada tahap selanjutnya, berbasis pada pemahaman.
Banyak orang terjebak pada mitos bahwa kalau anak-anak disuruh menghafal di usia dini maka mereka akan ingat seumur hidup. Salah. Kelak mereka akan lupa lagi, kecuali mereka terus menerus melakukan pengulangan.
Nah, apa baiknya bila anak kita disuruh melakukan pengulangan demi mempertahankan hafalan? Bukankah sebaiknya mereka memanfaatkan waktu dan energinya untuk mengumpulkan informasi lain yang lebih baru? Ingatlah bahwa sesuatu yang dihafal adalah sesuatu yang statis, tidak mengalami pembaruan.
Apakah saya mengatakan tidak boleh menghafal? Tidak juga. Menghafal tetap punya beberapa sisi positif. Salah satunya, ia bisa menarik informasi dengan cepat dari memori.
Saat berpikir membangun pemahaman, kecepatan ini bisa membantu. Namun harus diingat bahwa menghafal harus diposisikan sebagai alat bantu proses belajar. Ia bukan proses utama dalam belajar.
Contoh sederhananya adalah, anak-anak kita ajari proses penjumlahan. Mereka paham apa itu penjumlahan, dan bisa melakukan penjumlahan terhadap berbagai bilangan.
Dalam proses itu mereka akan hafal bahwa 2+2=4. Atau, mereka sudah paham bahwa 3×5 adalah 5+5+5, tidak mengapa kalau mereka hafal bahwa 3×5 sama dengan 15.

Sumber: Kompas.com

Tidak ada komentar

GENERASI GO-BLOG. Diberdayakan oleh Blogger.