Kaum Millennial, Pembunuh Kaum Primordial Pilkada


Kabar kemenangan paslon "kuda hitam" yang hanya diusung oleh 1 atau 2 partai melawan calon yang diusung oleh beberapa partai merupakan pukulan telak bagi partai politik. Bahkan, partai-partai besar yang mengusung calon tertentu telah dipermalukan dan dipecundangi oleh partai kecil "partai debutan". Ini sebuah indikasi sederhana bahwa zaman sekarang di era millenial partai yang memiliki peran untuk mencetak kader dan mengusung kepala daerah, dinilai gagal menjalankan perannya dengan baik.

Kegagalan pasangan calon  yang diusung beberapa partai tertentu dalam memenangkan pilkada juga merupakan bentuk koreksi kepada partai yang tidak menyiapkan calon kepala daerah yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Masyarakat saat ini sudah jauh lebih pintar untuk memilih kepala daerah pilihan mereka. Mereka tidak melihat dari partai apa, apatis terhadap partai. Saat ini masyarakat lebih memilih sosok figur dalam suatu pemilihan kepala daerah bahkan pemilihan umum dari pada memilih partai. Hal ini disebabkan karena hampir separuh masyarakat sudah tak lagi percaya pada partai. Ada krisis kepercayaan pada partai politik, tidak memuaskan. Contohnya, karena adanya korupsi yang dilakukan berjamaah, bukan partai tertentu saja, tapi lintas partai. Hampir separuh rakyat ini sudah ragu dengan partai politik, apalagi dengan pemilih muda generasi kekinian atau sering disebut dengan generasi millennial yang dianggap cakap dan cukup melek informasi, mulai dari perkembangan teknologi sampai ke politik. Hal ini tentu lebih membuka transparansi status partai dan memudahkan mencari tahu karakter tokoh/figur yang mencalonkan diri.
Untuk kalangan yang relatif terdidik, kampanye menggunakan media sosial lebih efektif ketimbang baliho dan spanduk. Orang yang relatif terdidik dan well inform ini tidak akan percaya isi baliho atau spanduk, tapi lebih percaya pada perkataan teman atau koleganya di media sosial.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Media Sosial dalam Kampanye Politik", https://nasional.kompas.com/read/2014/03/29/1153482/Media.Sosial.dalam.Kampanye.Politik.
Untuk kalangan yang relatif terdidik, kampanye menggunakan media sosial lebih efektif ketimbang baliho dan spanduk. Orang yang relatif terdidik dan well inform ini tidak akan percaya isi baliho atau spanduk, tapi lebih percaya pada perkataan teman atau koleganya di media sosial.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Media Sosial dalam Kampanye Politik", https://nasional.kompas.com/read/2014/03/29/1153482/Media.Sosial.dalam.Kampanye.Politik.

Untuk kalangan yang relatif terdidik, kampanye menggunakan media sosial lebih efektif ketimbang baliho dan spanduk. Orang yang relatif terdidik dan well inform ini tidak akan percaya isi baliho atau spanduk, tapi lebih percaya pada perkataan teman atau koleganya di media sosial.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Media Sosial dalam Kampanye Politik", https://nasional.kompas.com/read/2014/03/29/1153482/Media.Sosial.dalam.Kampanye.Politik.
Kini, di zaman millennial semua informasi serba terbuka dan mudah didapatkan, baik itu berita yang benar ataupun hoax. Namun tentunya bagi pemilih muda, mereka mudah menyaring informasi yang akurat karena mereka adalah kaum terpelajar. Usia 18 ke atas adalah kaum terdidik yang sedang menempuh pendidikan tingkat atas hingga universitas. Kenyataan ini menjelaskan bahwa mereka berkarakter, memiliki pemikiran kritis yang tak mudah dibohongi oleh retorika janji-janji manis para kandidat.

Untuk sekadar diketahui dari beberapa sumber disebutkan bahwa pemilih muda mendominasi daftar pemilih yaitu sekitar 40%. Melihat data tersebut, dapat disimpulkan bahwa partisipasi pemilih muda sangat berpengaruh terhadap hasil pemilihan. Hal seperti ini yang minim perhatian oleh partai pendukung atau kandidat tertentu. Mereka hanya sibuk memasang spanduk dengan foto kandidat dan partai-partai pengusung serta tak lupa menyertakan slogan dan visi-misi yang selama ini dinilai oleh kaum pemuda hanya tak lebih dari sekadar penghias jalan.

Lebih dari itu di zaman ini kita masih disuguhkan dengan politik primordial. Padahal, ada yang terlupa bahwa zaman ini bukanlah "zaman primitif" atau zaman politik primordial yang mana mempersuasi pemilih dalam arena politik atau urusan publik semata berdasarkan ras, suku bangsa, agama, mayoritas, minoritas.  Contoh sederhana ialah adanya kecenderungan memilih pasangan calon tanpa melihat kapasitas dan integritas. Memilih paslon hanya karena kedekatan kerabat, tetangga bahkan satu desa atau wilayah sampai pada pengaruh partai yang ideologinya masih kental di wilayah tersebut.  Ikatan primordial ini memang sebuah perasaan yang lahir dari yang dianggap ada dalam kehidupan sosial, sebagian besar dari hubungan langsung dan hubungan keluarga. Namun bagi kaum yang terdidik, hal yang tradisional ini tak berpengaruh. Mereka adalah kaum yang berpikir terbuka dan rasional.

Dengan melihat hasil quick count (walaupun hanya representatif sementara)  pilkada pada beberapa daerah di Indonesia, terlihat bahwa kita sudah berada pada zaman millennial. Zaman yang modern dan berpikiran terbuka, kita tidak akan menutup mata dan telinga menerima realitas serta pilihan hati nurani. Kita memilih bukan karena partai, kita memilih karena kualitas ketokohan atau figur calon tertentu yang dianggap sebagai figur "kekinian". Kita ini adalah pemuda "jaman now" yang terdidik. 



Tidak ada komentar

GENERASI GO-BLOG. Diberdayakan oleh Blogger.