Golput, Opsi Lain dari Memilih yang Terbaik di Antara Terburuk
Dari segi sejarah Golongan putih atau yang disingkat golput adalah
istilah politik di Indonesia yang berawal dari gerakan protes dari para
mahasiswa dan pemuda untuk memprotes pelaksanaan Pemilu 1971 yang
merupakan Pemilu pertama di era Orde Baru. Pencetus istilah "Golput" ini
adalah Imam Waluyo. Dipakai istilah "putih" karena gerakan ini
menganjurkan agar mencoblos bagian putih di kertas atau surat suara di
luar gambar parpol peserta Pemilu bagi yang datang ke bilik suara.
Ada
pernyataan dari penyelenggara Pemilu yaitu "Semakin tinggi jumlah
masyarakat yang Golput, berarti tingkat partisipasi masyarakat dalam
Pemilu semakin rendah. Semakin rendah partisipasi masyarakat dalam
Pemilu, maka nilai demokrasi semakin tinggi".
Memilih dalam Pemilu
adalah hak bagi seluruh Warga Negara Indonesia yang telah memiliki KTP.
Namun bagi mereka yang memutuskan untuk tidak memilih apapun alasannya
alias menjadi Golput, sebenarnya tidak menyalahi aturan
perundang-undangan apapun, sehingga tidak dapat dipidana.
Namun
Kaum Golput selalu dicap sebagai penghambat proses demokrasi. Dituding
sebagai warga negara yang tidak baik, karena membiarkan hak pilihnya
terbuang sia-sia. Golput selalu diidentikkan dengan kaum apatis, tak
peduli dengan nasib bangsa yang tak mau memilih dan tak mau tahu siapa
yang terpilih menjadi pemimpinnya. Entah karena kepentingan apa sehingga
Golput selalu disalahkan.
Bahkan, ada cocoklogi yang
disangkutpautkan dengan agama bahwa tidak memilih salah satu calon
adalah haram dengan alasan, berpartisipasi dalam Pemilu menunjukkan umat
yang peduli dan bertanggung jawab. Lebih ekstrimnya lagi, tidak memilih
pemimpin bahkan dianggap membuat kerusakan di muka bumi karena bersikap
apatis. Tentu pernyataan ini telah menodai makna demokrasi itu sendiri
karena telah terjadi "pemaksaan" dalam memilih.
Pelaku Golput
sering dicap sebagai orang yang tidak peduli nasib daerah, bangsa, dan
negara. Dianggap membiarkan orang-orang tidak ‘baik’ menjadi pemimpin
padahal ada pilihan "yang terbaik diantara terburuk". Alasan ini yang
menyebabkan sehingga Golput disebut melakukan tindakan keharaman (dosa).
Sekilas analogi itu logis, jika hanya melihat pemilu sebagai
satu-satunya cara memperbaiki bangsa dan negara. Namun, tentu anggapan
seperti itu keliru jika dipahami memilih hanyalah hak bukan kewajiban.
Sebagai sebuah hak, tentu tidak masalah dalam perspektif hukum jika
tidak digunakan. Sebagai sebuah sikap politik, golput bukanlah sebab,
tetapi akibat dari sesuatu hal. Maka menyalahkan golput tanpa
memperhatikan sebab terjadinya golput, bagaikan wasit pada pertandingan
sepakbola Piala Dunia memberi hadiah penalti kepada tim lain tanpa
melihat VAR, padahal pelanggaran yang dilakukan tim lawannya masih
kontroversi .
Kaum Golput kemudian berkata bahwa tidak memilih
adalah sebuah bentuk aspirasi atau pesan yang ingin disampaikan kepada
Penyelenggara Pemilu dan Kandidat bahwa tidak memilih adalah sebuah
bentuk pilihan lain dari Pemilu. Bukan berarti mereka abai, namun karena
mereka punya suara lain yang tak tersalurkan melalui Pemilu serta Kaum
Golput ini pun tak ingin dikambinghitamkan dalam menghasilkan produk
saat pemimpin yang terpilih kemudian tidak melaksanakan amanat
konstitusi "menyejahterakan masyarakat dan mewujudkan keadilan sosia"
serta janji-janji yang telah dikampanyekan sebelumnya. Saya kemudian
mengutip salah satu pernyataan seorang Freelancer di media, "Aku sih
nggak merasa golput salah. Itu pernyataan bahwa aku nggak mau menjadi
bagian dari kebijakan seorang kandidat yang aku rasa nggak punya
kecakapan buat memimpin. Kalau aku maksa diri buat pilih 'terbaik di
antara terburuk', aku seperti ngasih persetujuanku ke kandidat ini,
ngasih dia anggapan bahwa dia udah bener karena dia dapat vote yang
tinggi. Tapi, ketika ada banyak orang yang nggak milih, itu suara buat
bilang ke kandidat yang akhirnya terpilih bahwa dia masih punya banyak
kekurangan, bahwa masyarakat belum percaya sama dia, dan dia mesti
berusaha memperbaiki itu. Nggak setuju sih kalau dibilang golput itu
apatis. Kepedulian politik nggak bisa dijudge cuma dengan selembar
kertas pemilu". Ada kemudian lelucon sebagai analogi dipaksa memilih
diantara dua pilihan yang sama-sama tak disukai yaitu, Anda harus
memilih, Anda akan memilih siapa antara Lucinta Luna atau Muhammad
Fatah?
Akhir kata, silakan Anda memilih, itu adalah hak.
Jangan pernah memaksa dan menyalahkan sikap Golput karena tidak memilih
juga adalah hak, bukan kewajiban. Namun, Jangan pernah memaksa orang
untuk Golput karena itu bertentangan dengan undang-undang dan tentu
dapat dipidana.
Tulisan ini juga telah diterbitkan di Kompasiana https://www.kompasiana.com/mamankseptian/5b31f8795e137326016cf5f2/golput-opsi-lain-dari-memilih-yang-terbaik-diantara-terburuk
Post a Comment